Revolusi Hijau adalah usaha
pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah
dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian
yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern.
Runtuhnya pemerintahan Soekarno
telah mengubah pandangan politik pertanian negara. Pemerintahan Soekarno telah
menerima kebangkrutan ekonomi dari pemerintah kolonial sehingga diawal
kemerdekaan sampai menjelang jatuhannya pemerintahan ini, Indonesia masih
mengimpor beras. Kelangkaan beras yang diwariskan oleh pemerintahan Soekarno
ini, memaksa pemerintahan baru untuk melakukan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Pemerintahan Orde Baru menyadari
betul pentingnya ketersediaan pangan, khususnya beras. Jalan yang ditempuh
adalah melalui apa yang disebut sebagai Revolusi Hijau. Revolusi
Hijau bertujuan untuk mengenal dan memperluas penggunaan teknologi baru dan
teknik bertani, ditemukannya bibit-bibit unggul, obat peberantasan hama,
meningkatkan produktifitas beras secara besar-besaran, tanpa mengubah bangunan
sosial pedesaan.
Revolusi Hijau di dalam
masyarakat petani dikenal dengan program Bimas. Bimas merupakan singkatan dari
Bimbingan Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan suatu sistem
bimbingan petani kearah usaha tani yang lebih baik dan lebih maju, sehingga
mampu meningkatkan usaha taninya. Bimas berintikan penggunaan teknologi yang
sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil
produksi serta adanya dukungan kredit modern.
Peningkatan produksi beras padi
merupakan program yang terdapat prioritas tertinggi pada Pelita I (dengan
harapan dicapainya Swasembada pada akhir pelita I), maka dibentuklah organisasi
Bimas tingkat nasional sampai ketingkat kecamatan. Tujuan tersebut
dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau
dari segi ekonomi, politik, dan sosial.
Perhatian terhadap masalah
pertanian, khususnya pangan, telah lama mendapat perhatian para ahli. Perhatian
tersebut tampak sangat menonjol ketika muncul karya R. T. Malthus pada akhir
abad ke 18 (Rusli, 1989). Malthus melihat pangan sebagai pengekang hakiki dari
perkembangan penduduk di samping pengekang-pengekang lainnya yang berbentuk
pengekang segera. Menurutnya, apabila tidak ada pengekang maka perkembangan
penduduk akan berlangsung jauh lebih cepat daripada perkembangan produksi
pangan (subsisten). Hal ini karena perkembangan penduduk mengikuti deret
ukur, sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.
Desakan untuk memenuhi kebutuhan
pangan bagi penduduknya yang terus berkembang telah menyadarkan berbagai negara
berusaha untuk meningkatkan produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi
pertanian yang lebih baik terus dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani
agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat.
Kegiatan menyebarkan informasi/teknologi pertanian tersebut, dikenal dengan
penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian
didefinisikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk
para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan
berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya
(Wiriatmadja, 1990).
Dalam rangka peningkatan produksi
pertanian – khususnya beras - untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang
terus meningkat, pembanguan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan
berbagai program. Berbagai program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi
Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi
Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut,
diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk
buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok
tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah
komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).
Mosher (1978) mengidentifikasi
adanya tiga kategori wilayah pertanian yang berbeda tingkat kemajuannya.
Perbedaan itu menyangkut prasarana fisik, produktivitas pertaniannya serta
tingkat kemajuan petaninya. Ketiga wilayah itu adalah sebagai berikut. Pertama,
wilayah yang prasarananya relatif memadai (karena telah dibangun sejak jaman
penjajahan), teknologi yang diterapkan sudah maju secara mantap, produktivitas
tinggi, berorientasi pada pasar, dan (karenanya) para petaninya telah
membutuhkan dan mencari secara aktif informasi pertanian. Kedua, wilayah yang
prasarananya baru dibangun tetapi belum mantap, produkktivitas sedang, belum
berorientasi pasar, dan belum aktif mencari informasi pertanian. Ketiga,
wilayah yang relatif belum memiliki prasarana pertanian, teknologi tradisional
masih mendominasi, produktivitas rendah, petaninya masih tradisional dan
pertaniannya masih bersifat subsisten, dan belum merasa memerlukan informasi
pertanian.
Dengan adanya desakan keperluan
untuk meningkatkan produktivitas dan produksi beras secara nyata pada masa
revolusi hijau, maka diperlukan usaha-usaha yang cepat untuk mencapainya.
Dengan kondisi petani yang belum responsif terhadap inovasi pada saat itu, maka
paradigma konvensional tersebut dinilai relevan pada saat itu.
Bagaimanapun, revolusi hijau
tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi
maupun sosial. Kritikan tersebut berkaitan dengan terjadinya degradasi
lingkungan sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan,
perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya
biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai
ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati
oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk
memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai
memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan dan
Swaminathan 2006).
Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa terdapat lima pilihan komponen teknologi budi daya untuk meningkatkan
produktivitas padi sawah, yaitu: (1) penanaman bibit muda, (2) pemberian pupuk
organik pada saat pengolahan tanah, (3) irigasi berselang (intermittent
irrigation), (4) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, dan (5)
pemupukan N menurut tingkat kehijauan daun tanaman dengan mengacu kepada bagan
warna daun (BWD) (Las et al. 2003). Untuk mencerminkan kebutuhan alternatif
paket teknologi spesifik lokasi, teknologi budi daya tersebut dilengkapi dengan
delapan komponen teknologi lainnya, yaitu: (1) penggunaan varietas unggul baru,
(2) penggunaan benih bermutu dengan daya tumbuh tinggi, (3) penanaman 1-3 bibit
per lubang, (4) peningkatan populasi tanaman melalui sistem tanam tegel 20 cm x
20 cm atau sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1, (5) penyiangan menggunakan
rotary weeder atau landak, (6) pengendalian OPT berdasarkan pendekatan PHT, (7)
panen tepat waktu, dan (8) perontokan gabah menggunakan thresher (Las et al.
2003; Zaini et al. 2003a). Namun demikian, terdapat beberapa komponen teknologi
dalam PTT yang bersifat sinergis satu dengan lainnya. Selain sebagai penciri
PTT, teknologi tersebut mudah diterapkan, beradaptasi luas, dan besar
pengaruhnya terhadap kenaikan hasil dan pendapatan petani.
Penggunaan pupuk dan pestisida
yang berlebihan, penggunaan air irigasi permukaan tanpa sistem drainase yang
memadai, serta hilangnya tanaman kacangkacangan dalam pola tanam padi sawah
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan struktur tanah. Kerusakan
ekologi telah menyebabkan fondasi tersebut runtuh dalam menopang keberlanjutan
peningkatan produktivitas, bahkan memicu munculnya gejala kelelahan lahan (soil
fatigue) dalam revolusi hijau. Penanaman padi VUB yang memerlukan pemberian
pupuk, air, dan pestisida secara intensif, 2-3 kali pertanaman per tahun dan
berlangsung lama juga menjadi penyebab pelandaian laju produktivitas karena
menurunnya populasi biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen,
kelarutan fosfat, perlindungan terhadap penyakit dan tekanan abiotik (Tan et
al. 2002; Doebbelaere et al. 2003).
Sumber :
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/ip021093.pdf
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2170/0