Selasa, 20 Februari 2018

Revolusi Hijau



Hasil gambar untuk revolusi hijau

Revolusi Hijau adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern.

Runtuhnya pemerintahan Soekarno telah mengubah pandangan politik pertanian negara. Pemerintahan Soekarno telah menerima kebangkrutan ekonomi dari pemerintah kolonial sehingga diawal kemerdekaan sampai menjelang jatuhannya pemerintahan ini, Indonesia masih mengimpor beras. Kelangkaan beras yang diwariskan oleh pemerintahan Soekarno ini, memaksa pemerintahan baru untuk melakukan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Pemerintahan Orde Baru menyadari betul pentingnya ketersediaan pangan, khususnya beras. Jalan yang ditempuh adalah melalui apa yang disebut sebagai Revolusi Hijau. Revolusi Hijau bertujuan untuk mengenal dan memperluas penggunaan teknologi baru dan teknik bertani, ditemukannya bibit-bibit unggul, obat peberantasan hama, meningkatkan produktifitas beras secara besar-besaran, tanpa mengubah bangunan sosial pedesaan.

Revolusi Hijau di dalam masyarakat petani dikenal dengan program Bimas. Bimas merupakan singkatan dari Bimbingan Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan suatu sistem bimbingan petani kearah usaha tani yang lebih baik dan lebih maju, sehingga mampu meningkatkan usaha taninya. Bimas berintikan penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil produksi serta adanya dukungan kredit modern.

Peningkatan produksi beras padi merupakan program yang terdapat prioritas tertinggi pada Pelita I (dengan harapan dicapainya Swasembada pada akhir pelita I), maka dibentuklah organisasi Bimas tingkat nasional sampai ketingkat kecamatan. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, dan sosial.

Perhatian terhadap masalah pertanian, khususnya pangan, telah lama mendapat perhatian para ahli. Perhatian tersebut tampak sangat menonjol ketika muncul karya R. T. Malthus pada akhir abad ke 18 (Rusli, 1989). Malthus melihat pangan sebagai pengekang hakiki dari perkembangan penduduk di samping pengekang-pengekang lainnya yang berbentuk pengekang segera. Menurutnya, apabila tidak ada pengekang maka perkembangan penduduk akan berlangsung jauh lebih cepat daripada perkembangan produksi pangan (subsisten). Hal ini karena perkembangan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.

Desakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang terus berkembang telah menyadarkan berbagai negara berusaha untuk meningkatkan produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi pertanian yang lebih baik terus dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat. Kegiatan menyebarkan informasi/teknologi pertanian tersebut, dikenal dengan penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya (Wiriatmadja, 1990).

Dalam rangka peningkatan produksi pertanian – khususnya beras - untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembanguan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program. Berbagai program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

Mosher (1978) mengidentifikasi adanya tiga kategori wilayah pertanian yang berbeda tingkat kemajuannya. Perbedaan itu menyangkut prasarana fisik, produktivitas pertaniannya serta tingkat kemajuan petaninya. Ketiga wilayah itu adalah sebagai berikut. Pertama, wilayah yang prasarananya relatif memadai (karena telah dibangun sejak jaman penjajahan), teknologi yang diterapkan sudah maju secara mantap, produktivitas tinggi, berorientasi pada pasar, dan (karenanya) para petaninya telah membutuhkan dan mencari secara aktif informasi pertanian. Kedua, wilayah yang prasarananya baru dibangun tetapi belum mantap, produkktivitas sedang, belum berorientasi pasar, dan belum aktif mencari informasi pertanian. Ketiga, wilayah yang relatif belum memiliki prasarana pertanian, teknologi tradisional masih mendominasi, produktivitas rendah, petaninya masih tradisional dan pertaniannya masih bersifat subsisten, dan belum merasa memerlukan informasi pertanian.

Dengan adanya desakan keperluan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi beras secara nyata pada masa revolusi hijau, maka diperlukan usaha-usaha yang cepat untuk mencapainya. Dengan kondisi petani yang belum responsif terhadap inovasi pada saat itu, maka paradigma konvensional tersebut dinilai relevan pada saat itu.

Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi maupun sosial. Kritikan tersebut berkaitan dengan terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan dan Swaminathan 2006).

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat lima pilihan komponen teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas padi sawah, yaitu: (1) penanaman bibit muda, (2) pemberian pupuk organik pada saat pengolahan tanah, (3) irigasi berselang (intermittent irrigation), (4) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, dan (5) pemupukan N menurut tingkat kehijauan daun tanaman dengan mengacu kepada bagan warna daun (BWD) (Las et al. 2003). Untuk mencerminkan kebutuhan alternatif paket teknologi spesifik lokasi, teknologi budi daya tersebut dilengkapi dengan delapan komponen teknologi lainnya, yaitu: (1) penggunaan varietas unggul baru, (2) penggunaan benih bermutu dengan daya tumbuh tinggi, (3) penanaman 1-3 bibit per lubang, (4) peningkatan populasi tanaman melalui sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm atau sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1, (5) penyiangan menggunakan rotary weeder atau landak, (6) pengendalian OPT berdasarkan pendekatan PHT, (7) panen tepat waktu, dan (8) perontokan gabah menggunakan thresher (Las et al. 2003; Zaini et al. 2003a). Namun demikian, terdapat beberapa komponen teknologi dalam PTT yang bersifat sinergis satu dengan lainnya. Selain sebagai penciri PTT, teknologi tersebut mudah diterapkan, beradaptasi luas, dan besar pengaruhnya terhadap kenaikan hasil dan pendapatan petani.

Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, penggunaan air irigasi permukaan tanpa sistem drainase yang memadai, serta hilangnya tanaman kacangkacangan dalam pola tanam padi sawah menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan struktur tanah. Kerusakan ekologi telah menyebabkan fondasi tersebut runtuh dalam menopang keberlanjutan peningkatan produktivitas, bahkan memicu munculnya gejala kelelahan lahan (soil fatigue) dalam revolusi hijau. Penanaman padi VUB yang memerlukan pemberian pupuk, air, dan pestisida secara intensif, 2-3 kali pertanaman per tahun dan berlangsung lama juga menjadi penyebab pelandaian laju produktivitas karena menurunnya populasi biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen, kelarutan fosfat, perlindungan terhadap penyakit dan tekanan abiotik (Tan et al. 2002; Doebbelaere et al. 2003).

Sumber :
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/ip021093.pdf
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2170/0







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) Usaha pertanian pada saat ini telah banyak menggunakan input bahan ...