PERTANIAN BERKELANJUTAN
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
merupakan konsensus global dalam Agenda 21 yang diratifikasi dalam forum Earth
Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 menindak lanjuti konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang dipublikasikan melalui
Brundtlandt’s Report:“ Our Common Future”oleh World Commission on on
Environmental and Development (WECD). Pembangunan dengan prinsip lestari
kemudian menjadi nafas dalam kerangka pembangunan di setiap negara dan meliputi
semua sektor pembangunan termasuk pertanian (Azar et al, 1996).
Sektor pertanian menjadi prioritas dalam Agenda 21 (bab
14 tentang pembangunan pertanian dan pedesaaan) karena kontribusinyayang
sangat. Sektor pertanian sekaligus merupakan penyumbang terbesar penurunan
kualitas lingkungan (Chunjiang dan Guiqing, 1999). Dapat dikatakan, sektor
pertanian mempunyai dua dampak sekaligus, positif dan negatif. Secara umum
disimpulkan bahwa pertanian berkelanjutan dapat ditafsirkan sebagai pembangunan
pertanian yang mengakomodasi dua dampak tersebut secara seimbang.
Pertanian berkelanjutan merupakan suatu sistem pertanian
alternatif berdasarkan pada konservasi sumber daya dan kualitas kehidupan di
perdesaan, yang bertujuan untuk: (1) mengurangi kerusakan lingkungan; (2)
mempertahankan produktivitas pertanian; (3) meningkatkan pendapatan petani; dan
(4) meningkatkan stabilitas dan kualitas kehidupan masyarakat di perdesaan.
Pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan tiga aspek: (1) kesadaran
terhadap lingkungan; (2) bernilai ekonomis; dan (3) secara sosial budaya
diterima oleh masyarakat petani (Sasli, 2011)
Meskipun makna konsep pertanian berkelanjutan sudah
jelas, polemik mengenai strategi pencapaiannya masih banyak dijumpai. Terdapat
dua strategi besar yaitu pertanian dengan input luar tinggi /High External
Input Agriculture/HEIA dan pertanian dengan input luar rendah /Low External
Input Agriculture/LEIA (Graves et al 2004).Pertanian dengan input tinggi
melibatkan seperangkat input dari luar sistem lokal pertanian (inovasi dan
teknologi).
Paradigma pertanian input tinggi merupakan manifestasi
dari gerakan revolusi hijau yang dikenalkan di Asia Tenggara melalui kebijakan
bertani di era 70-an, sukses jangka pendek di era 80-an dan dominan dijumpai di
era sekarang. Selain berdampak positif pada peningkatan produksi, paradigma
tersebut diketahui berdampak negatif ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat
petani di berbagai negara. Keseimbangan orientasi antara ekonomi dan
kelestarian lingkungan menjadi masalah apabila menggunakan paradigma pertanian
dengan input tinggi. Sebagai alternatif, dikenalkan pertanian dengan paradigma
input rendah yang menekankan pada efisiensi input dan peningkatan karakter
ekologi sistem pertanian untuk menunjang keberlanjutan produksi pertanian
(Altieri, 2002).
Pemecahan masalah dalam mengatasi prioritas petani dalam
memilih produktivitas atau kelestarian lingkungan, maka petani perlu kembali ke
cara-cara pertanian yang tidak memerlukan biaya tinggi. Penggunaan input
internal-eksternal rendah dengan pemanfaatan secara optimal sumber daya lokal,
termasuk kearifan dan pengetahuan tradisional, manfaatkan keanekaragaman
hayati, meningkatkan kesuburan tanah melalui proses daur ulang alami,
penggunaan input eksternal secara minimal, kecuali ada defisiensi yang serius.
Merujuk pada definisi United State Department of
Agriculture/USDA (Gold, 1999), pertanian berkelanjutan bersifat spesifik,
penjabaran lanjut dan formulasi strategi spesifik sangat diperlukan untuk
pencapaiannya. Strategi tersebut dapat dievaluasi dengan mengkaji informasi
berkaitan dengan potensi, kendala, penentu dan dampak (baik positif maupun
negatif). Kerangka konseptual (conceptual framework) berbasis sebab akibat
merupakan alat bantu analisis yang baik dengan mengorganisasikan informasi
penting tersebut di atas secara sederhana.
Dalam rangka menghadapi persaingan pasar yang semakin
terbuka di era saat ini, di mana konsumen mengharapkan adanya produk pertanian
dengan kandungan residu bahan kimia rendah atau bahkan nol, maka petani
dituntut untuk mengubah pola pertaniannya. Pola pertanian yang dapat diterapkan
adalah pertanian berkelanjutan dengan sistem pertanian organik. Lahan pertanian
saat ini secara umum sudah berada pada tingkat kerusakan yang sangat serius,
sehingga upaya pemulihan tingkat kesuburan tanah dengan pemakaian bahan organik
adalah mutlak harus dilaksanakan secara serentak dalam bentuk gerakan massal.
Kebijakan yang dipandang tepat di Indonesia adalah
pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha agribisnis secara
partisipatif. Kebijakan ini dapat menjamin efisiensi dan pertumbuhan, keadilan
atau pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Pada subsistem produksi
diterapkan pendekatan sistem usaha tani rotasi tanaman dan daur ulang bahan
organik, teknik konservasi, pengurangan input kimia (low input sustainable
agriculture), pengendalian hama terpadu, dan sistem produksi tanaman ternak.
Pada subsistem lainnya dilakukan dengan menekan seminimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar