Selasa, 27 Februari 2018

PERTANIAN BERKELANJUTAN 


Hasil gambar untuk pertanian berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan konsensus global dalam Agenda 21 yang diratifikasi dalam forum Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 menindak lanjuti konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dipublikasikan melalui Brundtlandt’s Report:“ Our Common Future”oleh World Commission on on Environmental and Development (WECD). Pembangunan dengan prinsip lestari kemudian menjadi nafas dalam kerangka pembangunan di setiap negara dan meliputi semua sektor pembangunan termasuk pertanian (Azar et al, 1996).
Sektor pertanian menjadi prioritas dalam Agenda 21 (bab 14 tentang pembangunan pertanian dan pedesaaan) karena kontribusinyayang sangat. Sektor pertanian sekaligus merupakan penyumbang terbesar penurunan kualitas lingkungan (Chunjiang dan Guiqing, 1999). Dapat dikatakan, sektor pertanian mempunyai dua dampak sekaligus, positif dan negatif. Secara umum disimpulkan bahwa pertanian berkelanjutan dapat ditafsirkan sebagai pembangunan pertanian yang mengakomodasi dua dampak tersebut secara seimbang.
Pertanian berkelanjutan merupakan suatu sistem pertanian alternatif berdasarkan pada konservasi sumber daya dan kualitas kehidupan di perdesaan, yang bertujuan untuk: (1) mengurangi kerusakan lingkungan; (2) mempertahankan produktivitas pertanian; (3) meningkatkan pendapatan petani; dan (4) meningkatkan stabilitas dan kualitas kehidupan masyarakat di perdesaan. Pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan tiga aspek: (1) kesadaran terhadap lingkungan; (2) bernilai ekonomis; dan (3) secara sosial budaya diterima oleh masyarakat petani (Sasli, 2011)
Meskipun makna konsep pertanian berkelanjutan sudah jelas, polemik mengenai strategi pencapaiannya masih banyak dijumpai. Terdapat dua strategi besar yaitu pertanian dengan input luar tinggi /High External Input Agriculture/HEIA dan pertanian dengan input luar rendah /Low External Input Agriculture/LEIA (Graves et al 2004).Pertanian dengan input tinggi melibatkan seperangkat input dari luar sistem lokal pertanian (inovasi dan teknologi).
Paradigma pertanian input tinggi merupakan manifestasi dari gerakan revolusi hijau yang dikenalkan di Asia Tenggara melalui kebijakan bertani di era 70-an, sukses jangka pendek di era 80-an dan dominan dijumpai di era sekarang. Selain berdampak positif pada peningkatan produksi, paradigma tersebut diketahui berdampak negatif ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat petani di berbagai negara. Keseimbangan orientasi antara ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi masalah apabila menggunakan paradigma pertanian dengan input tinggi. Sebagai alternatif, dikenalkan pertanian dengan paradigma input rendah yang menekankan pada efisiensi input dan peningkatan karakter ekologi sistem pertanian untuk menunjang keberlanjutan produksi pertanian (Altieri, 2002).
Pemecahan masalah dalam mengatasi prioritas petani dalam memilih produktivitas atau kelestarian lingkungan, maka petani perlu kembali ke cara-cara pertanian yang tidak memerlukan biaya tinggi. Penggunaan input internal-eksternal rendah dengan pemanfaatan secara optimal sumber daya lokal, termasuk kearifan dan pengetahuan tradisional, manfaatkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kesuburan tanah melalui proses daur ulang alami, penggunaan input eksternal secara minimal, kecuali ada defisiensi yang serius.
Merujuk pada definisi United State Department of Agriculture/USDA (Gold, 1999), pertanian berkelanjutan bersifat spesifik, penjabaran lanjut dan formulasi strategi spesifik sangat diperlukan untuk pencapaiannya. Strategi tersebut dapat dievaluasi dengan mengkaji informasi berkaitan dengan potensi, kendala, penentu dan dampak (baik positif maupun negatif). Kerangka konseptual (conceptual framework) berbasis sebab akibat merupakan alat bantu analisis yang baik dengan mengorganisasikan informasi penting tersebut di atas secara sederhana.
Dalam rangka menghadapi persaingan pasar yang semakin terbuka di era saat ini, di mana konsumen mengharapkan adanya produk pertanian dengan kandungan residu bahan kimia rendah atau bahkan nol, maka petani dituntut untuk mengubah pola pertaniannya. Pola pertanian yang dapat diterapkan adalah pertanian berkelanjutan dengan sistem pertanian organik. Lahan pertanian saat ini secara umum sudah berada pada tingkat kerusakan yang sangat serius, sehingga upaya pemulihan tingkat kesuburan tanah dengan pemakaian bahan organik adalah mutlak harus dilaksanakan secara serentak dalam bentuk gerakan massal.
Kebijakan yang dipandang tepat di Indonesia adalah pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha agribisnis secara partisipatif. Kebijakan ini dapat menjamin efisiensi dan pertumbuhan, keadilan atau pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Pada subsistem produksi diterapkan pendekatan sistem usaha tani rotasi tanaman dan daur ulang bahan organik, teknik konservasi, pengurangan input kimia (low input sustainable agriculture), pengendalian hama terpadu, dan sistem produksi tanaman ternak. Pada subsistem lainnya dilakukan dengan menekan seminimal.

Selasa, 20 Februari 2018

Revolusi Hijau



Hasil gambar untuk revolusi hijau

Revolusi Hijau adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern.

Runtuhnya pemerintahan Soekarno telah mengubah pandangan politik pertanian negara. Pemerintahan Soekarno telah menerima kebangkrutan ekonomi dari pemerintah kolonial sehingga diawal kemerdekaan sampai menjelang jatuhannya pemerintahan ini, Indonesia masih mengimpor beras. Kelangkaan beras yang diwariskan oleh pemerintahan Soekarno ini, memaksa pemerintahan baru untuk melakukan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Pemerintahan Orde Baru menyadari betul pentingnya ketersediaan pangan, khususnya beras. Jalan yang ditempuh adalah melalui apa yang disebut sebagai Revolusi Hijau. Revolusi Hijau bertujuan untuk mengenal dan memperluas penggunaan teknologi baru dan teknik bertani, ditemukannya bibit-bibit unggul, obat peberantasan hama, meningkatkan produktifitas beras secara besar-besaran, tanpa mengubah bangunan sosial pedesaan.

Revolusi Hijau di dalam masyarakat petani dikenal dengan program Bimas. Bimas merupakan singkatan dari Bimbingan Massal, dalam pengertian resmi dan aslinya merupakan suatu sistem bimbingan petani kearah usaha tani yang lebih baik dan lebih maju, sehingga mampu meningkatkan usaha taninya. Bimas berintikan penggunaan teknologi yang sering disebut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil produksi serta adanya dukungan kredit modern.

Peningkatan produksi beras padi merupakan program yang terdapat prioritas tertinggi pada Pelita I (dengan harapan dicapainya Swasembada pada akhir pelita I), maka dibentuklah organisasi Bimas tingkat nasional sampai ketingkat kecamatan. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, dan sosial.

Perhatian terhadap masalah pertanian, khususnya pangan, telah lama mendapat perhatian para ahli. Perhatian tersebut tampak sangat menonjol ketika muncul karya R. T. Malthus pada akhir abad ke 18 (Rusli, 1989). Malthus melihat pangan sebagai pengekang hakiki dari perkembangan penduduk di samping pengekang-pengekang lainnya yang berbentuk pengekang segera. Menurutnya, apabila tidak ada pengekang maka perkembangan penduduk akan berlangsung jauh lebih cepat daripada perkembangan produksi pangan (subsisten). Hal ini karena perkembangan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.

Desakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang terus berkembang telah menyadarkan berbagai negara berusaha untuk meningkatkan produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi pertanian yang lebih baik terus dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat. Kegiatan menyebarkan informasi/teknologi pertanian tersebut, dikenal dengan penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya (Wiriatmadja, 1990).

Dalam rangka peningkatan produksi pertanian – khususnya beras - untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembanguan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program. Berbagai program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).

Mosher (1978) mengidentifikasi adanya tiga kategori wilayah pertanian yang berbeda tingkat kemajuannya. Perbedaan itu menyangkut prasarana fisik, produktivitas pertaniannya serta tingkat kemajuan petaninya. Ketiga wilayah itu adalah sebagai berikut. Pertama, wilayah yang prasarananya relatif memadai (karena telah dibangun sejak jaman penjajahan), teknologi yang diterapkan sudah maju secara mantap, produktivitas tinggi, berorientasi pada pasar, dan (karenanya) para petaninya telah membutuhkan dan mencari secara aktif informasi pertanian. Kedua, wilayah yang prasarananya baru dibangun tetapi belum mantap, produkktivitas sedang, belum berorientasi pasar, dan belum aktif mencari informasi pertanian. Ketiga, wilayah yang relatif belum memiliki prasarana pertanian, teknologi tradisional masih mendominasi, produktivitas rendah, petaninya masih tradisional dan pertaniannya masih bersifat subsisten, dan belum merasa memerlukan informasi pertanian.

Dengan adanya desakan keperluan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi beras secara nyata pada masa revolusi hijau, maka diperlukan usaha-usaha yang cepat untuk mencapainya. Dengan kondisi petani yang belum responsif terhadap inovasi pada saat itu, maka paradigma konvensional tersebut dinilai relevan pada saat itu.

Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi maupun sosial. Kritikan tersebut berkaitan dengan terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan dan Swaminathan 2006).

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat lima pilihan komponen teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas padi sawah, yaitu: (1) penanaman bibit muda, (2) pemberian pupuk organik pada saat pengolahan tanah, (3) irigasi berselang (intermittent irrigation), (4) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah, dan (5) pemupukan N menurut tingkat kehijauan daun tanaman dengan mengacu kepada bagan warna daun (BWD) (Las et al. 2003). Untuk mencerminkan kebutuhan alternatif paket teknologi spesifik lokasi, teknologi budi daya tersebut dilengkapi dengan delapan komponen teknologi lainnya, yaitu: (1) penggunaan varietas unggul baru, (2) penggunaan benih bermutu dengan daya tumbuh tinggi, (3) penanaman 1-3 bibit per lubang, (4) peningkatan populasi tanaman melalui sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm atau sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1, (5) penyiangan menggunakan rotary weeder atau landak, (6) pengendalian OPT berdasarkan pendekatan PHT, (7) panen tepat waktu, dan (8) perontokan gabah menggunakan thresher (Las et al. 2003; Zaini et al. 2003a). Namun demikian, terdapat beberapa komponen teknologi dalam PTT yang bersifat sinergis satu dengan lainnya. Selain sebagai penciri PTT, teknologi tersebut mudah diterapkan, beradaptasi luas, dan besar pengaruhnya terhadap kenaikan hasil dan pendapatan petani.

Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, penggunaan air irigasi permukaan tanpa sistem drainase yang memadai, serta hilangnya tanaman kacangkacangan dalam pola tanam padi sawah menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan struktur tanah. Kerusakan ekologi telah menyebabkan fondasi tersebut runtuh dalam menopang keberlanjutan peningkatan produktivitas, bahkan memicu munculnya gejala kelelahan lahan (soil fatigue) dalam revolusi hijau. Penanaman padi VUB yang memerlukan pemberian pupuk, air, dan pestisida secara intensif, 2-3 kali pertanaman per tahun dan berlangsung lama juga menjadi penyebab pelandaian laju produktivitas karena menurunnya populasi biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen, kelarutan fosfat, perlindungan terhadap penyakit dan tekanan abiotik (Tan et al. 2002; Doebbelaere et al. 2003).

Sumber :
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/ip021093.pdf
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2170/0







LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) Usaha pertanian pada saat ini telah banyak menggunakan input bahan ...